Oleh: Putri Wulandari
Bengkulu adalah Provinsi dengan potensi pariwisata yang lengkap: wisata sejarah, wisata buatan, dan wisata alami.
Bengkulu punya Benteng Marlborough—benteng peninggalan Inggris terbesar di Asia Tenggara, Rumah Pengasingan Bung Karno, hingga Masjid Jamik Bengkulu yang dirancang langsung oleh Sang Proklamator. Dari sisi buatan, ada Taman Wisata Pantai Panjang dan Sport Center yang bisa menjadi ikon modern.
Sementara wisata alami Bengkulu adalah harta karun dunia: Pantai Panjang dengan garis pantai 7 km, Danau Dendam Tak Sudah, Bukit Kandis, Curug 9, hingga hutan tropis yang menyimpan bunga langka Rafflesia Arnoldii.
Sayangnya, potensi emas ini dibiarkan membusuk di tangan pemerintah yang tidak serius. Data resmi tahun 2024 mencatat pertumbuhan pariwisata Bengkulu hanya 4,62%, dengan kunjungan domestik sekitar 300 ribu orang dan mancanegara bahkan tidak tembus 5 ribu orang.
Bandingkan dengan Sumatera Barat yang menembus 2 juta wisatawan, atau Sumatera Selatan lebih dari 1,5 juta. Dengan APBD pariwisata hampir Rp 19,2 miliar, hasil ini adalah aib.
Pemerintah Gagal, Rakyat Jadi Korban
Mari bicara jujur: pariwisata Bengkulu gagal karena pemerintah lebih sibuk mengurus proyek daripada mengurus rakyat. Anggaran habis untuk bangunan mercusuar yang lebih enak difoto pejabat ketimbang dinikmati wisatawan.
Lebih parah lagi, pola pengelolaan wisata sudah jadi ladang bancakan kontraktor. Fakta lapangan berbicara: proyek baru lebih diprioritaskan karena ada fee 10–15%. Akibatnya, rakyat hanya dapat
janji manis, sementara pejabat dan kroninya panen proyek.
SDM pariwisata? Terlantar. Pemandu wisata tidak terlatih, pelaku UMKM dibiarkan seadanya. Jangan heran jika wisatawan asing kecewa karena layanan kita jauh dari standar internasional.
Teknologi? Nol besar. Ketika dunia sudah beralih ke promosi digital, aplikasi wisata, dan integrasi e-ticketing, Bengkulu masih bangga dengan spanduk dan baliho. Apa gunanya bicara pariwisata kalau masih hidup di era 90-an?
Dampak Nyata yang Terasa
Kegagalan ini berimbas langsung ke rakyat:
– UMKM lesu karena minim wisatawan.
– Anak muda menganggur, akhirnya memilih merantau.
– Aset terbengkalai, rusak tanpa perawatan.
– Ekonomi daerah stagnan, hanya jadi penonton kemajuan provinsi tetangga.
Seperti yang dikatakan Aristoteles: “Negara yang mengabaikan kesejahteraan rakyatnya, sama saja dengan memelihara kehancurannya sendiri.”
Solusi: Tegas dan Konkret
1. Hentikan politik pencitraan. Jangan jadikan pariwisata sebagai panggung seremonial pejabat.
2. Swasta lokal harus diberi ruang. Biarkan mereka kelola destinasi dengan sistem blok,
transparan, dan kompetitif seperti model Pantai Anyer di Banten.
3. Bangun SDM pariwisata. Pelatihan terpadu untuk pemandu, UMKM, dan pengelola wajib digelar
bersama perguruan tinggi.
4. Digitalisasi total. Luncurkan Bengkulu Tourism App, integrasi e-ticketing, dan promosi global
berbasis media sosial & platform wisata internasional.
5. Regulasi bersih, tanpa kompromi. Aturan harus pro-rakyat, bukan pro-proyek.
Jika pemerintah tetap malas, rakus, dan hanya menjadikan pariwisata sebagai bancakan proyek, maka Bengkulu akan selamanya menjadi kuburan potensi wisata. Yang kaya hanya pejabat, sementara rakyat tetap miskin di tengah surga alam dan sejarahnya sendiri.
Dan hari ini, kritik keras wajib diarahkan ke pemerintah yang gagal mengelola potensi emas Bengkulu. Karena seperti yang diingatkan Noam Chomsky: “Kekuasaan tanpa akuntabilitas adalah wajah lain dari tirani”.
Penulis : Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik Universitas Dehasen Bengkulu.

