Jayapura,Reformasinews.com– Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro mengatakan bisnis media adalah bisnis memakai otak karena membutuhkan intelektual dan kreatifitas.
Hal itu dikatakannya saat menjadi narasumber pelatihan pengelolaan media online se-Tanah Papua yang digelar oleh Asosiasi Wartawan Papua – AWP di Hotel Suni Abepura, Kota Jayapura.
Sapto menjelaskan bisnis media adalah bisnis memakai otak karena bisnis media membutuhkan intelektual dan kreatifitas. Kemampuan berpikir secara sains menggunakan otak kiri, sedangkan kreatifitas menggunakan otak kanan.
“Secara proses [jurnalistik] berada di kepala,” ujarnya.
Bisnis media, kata Sapto, berbeda dengan bisnis manufaktur atau pabrik. Menurutnya, bisnis pabrik itu lebih mementingkan mesin daripada sumber daya manusia sedangkan bisnis media membutuhkan isi kepala dari sumber daya manusianya.
Utamanya bisnis pabrik itu bukan orangnya, tetapi mesinnya. Kalau [bisnis media] ini kan enggak, [dibutuhkan isi] kepala dari orangnya,” ujarnya.
Pendiri Tirto.id itu mengatakan media membutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai gagasan, kreativitas, intelektual. Ia mencontohkan media seperti Kompas dan detik.com yang awalnya tak memiliki apa-apa namun bisa besar seperti itu.
Kita gak punya apa-apa [selain] ide atau gagasan, kreativitas, dan intelektual yang semuanya itu ada di kepala. Yang bisa melahirkan Kompas dan detik.com mulai dari tidak ada apa-apa sampai seperti [besar] itu kan bentuk dari intelektual dan mindset yang ada di kepala,” katanya.
Jadi, katanya, media perlu mencari orang-orang yang mempunyai kemampuan intelektual yang bagus. Ketua Komisi Pendataan, Penelitian, Ratifikasi itu mengaku untuk mencari orang-orang tersebut tidak gampang. Namun ia memiliki tips berdasarkan pengalamannya dalam merekrut karyawan. Ia menyewa tempat yang terkenal untuk melakukan tes.
Misalnya seperti di Jakarta, saya memilih hotel yang terbaik di Jakarta. Kemudian di Jogja, saya menyewa Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) karena semua orang tahu UGM,” ujarnya.
Hal itu menurutnya, secara tidak langsung menyeleksi pelamar berdasarkan kualifikasi yang diinginkan.
Jadi kalau ada orang yang kemampuannya biasa-biasa aja, mohon maaf gak pintar jadi mikir kan,” katanya.
Selain itu, bisa juga dengan melihat curriculum vitae (CV) seperti asal kampusnya dan nilainya. Namun, nilai jelek, tambahnya, belum tentu bodoh bisa jadi jurusan yang dipilihnya tidak sesuai minatnya.
“Kamu minatnya apa? Saya dulu minatnya jurnalistik.Tapi kok jurusannya ambil teknik? Makanya itu, saya rada malas-malasan,” katanya mencontohnya tanya jawab dengan pelamar kerja.
Lalu dicek lagi hobinya pelamar dengan kecocokan kriteria yang dibutuhkan. Misalnya yang memiliki hobi membaca novel itu. Penulis buku “Legenda Media Online (detikcom)” dan “Mantra Justru” itu mengatakan orang yang memiliki hobi membaca itu sudah menemukan tempat untuk men-deliver ilmu.
“Kebanyakan ilmu berasal dari bacaan. Kalau kamu gak pernah membaca, kamu punya ilmu apa,” ungkapnya. (*)