Profil Rossa Purbo, Penyidik KPK Diingatkan Eks Wakapolri soal Etik Usai Sita HP Hasto

oleh -65 Dilihat

Reformasinews.com- – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) AKBP Rossa Purbo kini disorot. Tepatnya usai menyita ponsel milik Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam pemeriksaan kasus Harun Masiku.

Rossa Purbo pun sampai dilaporkan ke Dewan Pengawas atau Dewas KPK dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ia juga disebut-sebut bisa dijerat pidana dan diproses etik.

Pasalnya, penyitaan tidak boleh dilakukan sembarangan, apalagi status Hasto masih sebagai saksi. Atas dasar itu, segala informasi tentang Rossa Purbo pun dikulik, termasuk profilnya.

Dikutif dari suara.com, pemilik nama lengkap Rossa Purbo Bekti itu merupakan penyidik KPK dari Polri. Saat ini, dirinya berpangkat perwira menengah tingkat dua alias Ajun Komisaris Besar Polisi atau AKBP.

Rossa Purbo lulus dari Akademi Kepolisian (Akpol) pada tahun 2006. Sementara itu, ia bergabung dengan KPK sejak 2016 silam dan pangkatnya masih Komisaris Polisi atau Kompol.

Selama bekerja di KPK, Rossa pernah menangani sejumlah kasus besar. Salah satunya, kasus e-KTP yang menjerat banyak pejabat negara. Lalu, kasus di Kementerian Pertanian (Kementan).

Selain itu, Rossa pernah tergabung dalam tim yang melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus Harun Masiku. Kasus itu kini kembali ramai.

Tim itu berencana menangkap Harun Masiku yang diduga bertemu dengan Hasto di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 8 Januari 2020. Hasto disebut mengetahui kasus ini.

Seperti diketahui, upaya penangkapan Harun gagal hingga ia masih berstatus buron. Sementara itu, Hasto muncul keesokan harinya setelah namanya tidak disebutkan dalam deretan tersangka.

Saat kejadian OTT KPK, Hasto mengaku dirinya ada di rumah dan sedang menderita diare. Ia sempat membantah berada di PTIK. Di sisi lain, tak lama usai OTT, Rossa diberhentikan dari KPK.

Padahal masa tugasnya di KPK baru berakhir pada September 2020 dan masih bisa diperpanjang. KPK pun menyatakan mengembalikan Rossa karena ada surat permintaan dari Polri.

Padahal pihak Polri telah mengirim surat pembatalan penarikan hingga dua kali. Namun, pimpinan KPK tetap melayangkan surat pembatalan itu dan memutuskan mengembalikan Rossa.

Rossa lalu melayangkan surat keberatan kepada Presiden Jokowi. Dewas KPK pun membawa ini ke rapat evaluasi dengan pimpinan KPK pada April 2020. Hasilnya, ia kembali bekerja di KPK.

Terkini, ia dilaporkan karena menyita ponsel dan buku catatan milik Hasto dan anak buahnya, Kusnadi. Tepatnya usai mereka diperiksa sebagai saksi kasus Harun pada Senin (10/6/2024).

Hasto selanjutnya membuat laporan pada Selasa (11/6/2024) karena menilai adanya pelanggaran etik dalam penyitaan tersebut. Selain itu, Rossa juga dilaporkan ke Komnas HAM.

Laporan itu dilayangkan oleh Kusnadi yang didampingi kuasa hukumnya pada Rabu (12/6/2024). Rossa Purbo disebut telah melanggar HAM ketika menyita barang-barang milik Hasto dan Kusnadi.

Kusnadi pun merasa diintimidasi oleh Rossa saat diminta untuk menyerahkan ponsel beserta buku DPP PDIP ke penyidik KPK. Di sisi lain, eks penyidik KPK Yudi Harahap mengaku terkejut.

Ia mengatakan, Rossa merupakan salah satu penyidik KPK terbaik saat ini. Menurutnya, penyitaan itu tak mungkin asal-asalan dan diyakini memiliki alasan kuat dan petunjuk untuk menyita Hasto.

Eks Wakapolri Komjen (Purn.) Oegroseno turut angkat bicara terkait Rossa Purbo yang menyita barang Hasto. Menurutnya, Penyidik KPK itu bisa dijerat pidana dan diproses etik.

Oegroseno yang merupakan mantan Kadiv Propam Polri itu juga menyatakan pernah menjatuhi etik berat. Tepatnya pada anggota polisi yang menjebak seseorang yang masih berstatus saksi.

Apa yang mau dijadikan bukti? Itu kan sama dengan menjebak. Yang boleh menjebak itu dengan kontrol delivery atau undercontrol buy. Jangankan dirampas, dipinjam saja enggak boleh kok. Jadi orang harus ditempatkan kalau orang punya praduga tak bersalah, masak saksi dinyatakan seperti itu. Tersangka aja enggak boleh,” kata Oegroseno kepada wartawan, Sabtu (15/6/2024).

“Pasti diproses oleh Propam karena dia sudah melanggar etika profesi. Tetapi lebih bagus kan kejahatannya diproses dulu. Menurut saya itu kejahatan berat ya, kalau di pidana umum itu sama dengan merampas barang seseorang. Itu mengambil secara paksa kok itu,” lanjutnya.(*)