“KUKIRA HANTU ITU ADA”

oleh -125 Dilihat

Cerita Pendek Lekat S. Amrin

SEBELUM aku masuk ke mobil, wanita muda dan cantik itu berkata : “Aku akan pulang besok.”

Dia pun pamit dan berlalu meninggalkanku.

Aku hanya mengangguk dan melambaikan tangan padanya. Punggungnya masih kusaksikan, sebelum dia menghilang dari keramaian pasar. Kututup pintu mobil, dan kutinggalkan pasar Ampera kota Manna itu.

Tiga puluh menit kemudian androidku berdering. Istriku video call di Whatshap. Dan itu kebiasaan yang tidak mengejutkanku.  Yang justru membuat aku terkejut, istriku mengabarkan dengan buru-buru, bahwa Alda telah meninggal sepuluh menit yang lalu karena kecelakaan di Bukit Senuling. Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, istriku telah memutus telponnya.

Aku ternganga, kaget. Kuinjak rem, dan mobil berhenti mendadak. Aku tak percaya dengan  kabar dari istriku.

Hatiku berkata dalam diam; “Mana mungkin? Bukankah baru saja tadi wanita itu bicara padaku, bahwa dia akan pulang besok?” aku mendesah dalam kebingungan.

Aku pun terpana beberapa saat. Mataku menatap kosong ke depan. Aku merasa tetap tak percaya. Jelas, baru tiga puluh menit yang lalu Alda bicara denganku. “…aku akan pulang besok,” itu katanya di sisi pintu mobilku.

Tapi kalau informasi dari istriku benar, lalu siapa wanita yang bicara padaku di pasar Ampera itu?

“ Hantukah dia…?” bisik hatiku mendesir. Bulu roma di tengkukku pun merinding.

Kali ini baru kusadari ada rasa ketakutan pada diriku. Ada sisi lain alam bawah sadarku bermain. Ini peristiwa pasti ada yang salah. Karena kuyakini diriku dalam kesadaran. Bahwa perjumpaan dengan wanita bernama Alda itu bukanlah sebuah fantasi. Tetapi itu nyata.

Namun, bagaimana mungkin Alda bisa kecelakaan di bukit Senuling Padang Guci?  Sementara dia baru setengah jam yang lalu berjumpa denganku di pasar Ampera? Bahwa kota Manna menuju bukit Senuling Padang Guci itu harus ditempuh perjalanan mobil setidaknya satu jam lebih, sekali pun berkecepatan tinggi.

Dalam kebingungan di mobil yang terhenti, aku hanya menatap kosong ke hadapan. Hanya mobil lalu lalang yang tidak mempedulikan mobilku telah berhenti sekian lama.

Tiba-tiba, jemariku menekan nomor handphone istriku. Aku ingin mamastikan informasi yang dia kabarkan kepadaku beberapa waktu lalu.

“Mama lagi di rumah almarhumah Alda, Pa. Rame sekali orang melayat di sini. Papa udah pulang kan? …” istriku memutus telponnya. Dan memang kudengar suara orang ramai di telpon itu. Oleh karenanya membuat aku harus percaya bahwa kematian Alda adalah nyata.

Bibirku bergetar, dan selalu menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Dengan pelan aku pun menjalankan mobil untuk pulang.

Tanpa kusadari hari sudah hampir gelap.  Sebentar lagi malam pun merangkak. Seketika terbayang olehku wajah wanita itu, ketika bicara di pasar Ampera kepadaku. Kupastikan, dia adalah Alda, wanita yang sudah kukenal sejak lama. Mengingat itu, kembali bulu romaku berdiri, dan berdesir rasa takut  tak kepalang ketika kusadari peristiwa yang baru kualami sungguh luar biasa. Bahkan mungkin dapat disebut kejadian ghaib yang mencengangkan.

*  *  *

Satu jam kemudian, aku sampai di tempat kejadian kecelakaan itu. Persisnya di jalan bukit Senuling desa Pagar Dewa, Padang Guci, Kabupaten Kaur, Bengkulu. Hari sudah betul-betul gelap. Hanya diterangi kelap-kelip lampu darurat mobil vorider Polisi yang masih memasang garis polisi di tempat itu.

Aku sempat berhenti dan bertanya sama polisi. Mereka menjelaskan, bahwa ibu Alda menyetir sendiri  mobil Agiya, tidak ada yang lain. Laju mobil diduga sangat kencang, dan menghantam beton gorong-gorong di tikungan. Mobil remuk, dan wanita itu meninggal di tempat.

Aku sempat berhenti dan bertanya sama polisi. Mereka menjelaskan, bahwa ibu Alda menyetir sendiri  mobil Agiya, tidak ada yang lain. Laju mobil diduga sangat kencang, dan menghantam beton gorong-gorong di tikungan. Mobil remuk, dan wanita itu meninggal di tempat.

Aku terdiam mendengar cerita itu. Terpaku diam. Lebih terdiam lagi diriku ketika kubayangkan tentang seseorang yang berbicara padaku di pelataran parkir pasar Ampera kota Manna menjelang sore tadi. Tentu tidak akan kuceritakan pada polisi tentang apa yang baru saja kualami.  Aku tak mau dianggap menghayal, bercerita hal yang tak masuk akal. Biarlah, apa yang kualami akan menjadi rahasia yang kusimpan sendiri.

Aku masuk mobilku.

Sambil melaju pelan, seperti seketika, berbagai cerita tentang Bukit Senuling yang angker seakan terkuak dari dalam kepalaku. Banyak sekali cerita bertahun-tahun yang kuterima dari perbincangan di tengah masyarakat Padang Guci. Semuanya terkesan menyeramkan. Menakutkan, bahkan mengerikan.

Selama ini aku tidak mudah percaya, karena aku adalah seorang yang  rasional dari seorang yang  terpelajar. Hal-hal yang berbau cerita hantu, kuntilanak, manusia malam berkaki panjang yang duduk di dahan kayu besar sisi jalan, dan kakinya menjuntai sampai ke tanah, adalah cerita yang menghiasi perbincangan masa lalu dari waktu ke waktu.

Bahkan anak bocah berjalan sendiri waktu dini hari melintas ketika kendaraan motor warga lewat, atau perempuan cantik berambut panjang gentayangan tengah malam di jalan sepanjang Bukit Senuling. Termasuk tempat kejadian kecelakaan Alda ini, menurut cerita-cerita, pernah makhluk itu muncul dan dilihat orang yang lewat. Tetapi semua cerita  tersebut selama ini hanya membuat aku tersenyum. Aku tidak percaya!

Pada suatu ketika, aku ada pengalaman menarik. Seorang warga menyampaikan kepadaku, bahwa rumah tempatku berdiam sangatlah angker. Sebenarnya, aku dapat memahami ucapannya, karena rumahku berada di dekat kuburan Pagar Dewa. Dan pemakaman itu bagian dari lereng perbukitan Senuling. Lalu cerita sejak dulu kala, tempatku itu sering terjadi kemunculan hantu-hantu ketika malam tanpa bulan. Aku tertawa saja menyikapi cerita itu. Tempat tinggalku itu justru paling indah. Rumahku dibangun di atas bukit, dengan pemandangan di seberangnya terhampar sawah yang luas, lalu di kejauhan tampak latar perbukitan pematang yang hijau. Ketika sore tiba, maka sinar matahari berkilau merah jatuh ke hamparan padi yang sedang menguning.  Maka bagiku, tempatku itu adalah istana.

Pada suatu malam, ketika tak ada bulan, aku pernah diganggu oleh suara-suara aneh. Samar-samar kedengarannya seperti orang menangis, lalu ditimpali dengan suara rintihan. Sebagai orang yang selalu berpikir rasional maka aku harus membuktikan bahwa itu suara apa. Karena aku tidak percaya hantu.

Dengan menggunakan penerangan senter batre baru, kudatangi sumber suara itu. Saat aku melangkah keluar rumah, dapat kupastikan suara-suara tak jelas itu bersumber dari kuburan di sebelah rumahku. Aku berusaha tidak takut, karena menurutku hantu itu tidak ada. Hantu adalah dongeng. Aku keluar pagar rumah, dan aku tahu di tengah kuburan itu ada pohon asam kumbang yang besar. Dengan pelan aku melangkah menuju  sumber suara dekat pohon itu. Kuarahkan senter yang kubawa ke pohon itu, dan ternyata ada burung elang, dan beberapa ekor musang. Binatang itu pun justru terkejut, lalu melompat ke pohon yang lain, dan elang itu pun terbang. Bintang-binatang itu pun bubar, mungkin takut  dengan cahya senter yang kuarahkan. Jadi, binatang-binatang itulah yang kudengar berbunyi-bunyi di keheningan malam gelap. Sejak saat itu, aku semakin tidak takut, sekali pun tidur bersisian dengan kuburan, di sana terhampar mayat-mayat yang telah menyatu dengan tanah di bawah nisan masing-masing.

Tak berapa lama kulihat di depan tampak cahaya terang. Lamunanku pun berantakan.  Rupanya aku sudah sampai di depan rumah. Istriku juga baru saja pulang dari melayat almarhumah Alda dari desa tetangga. Dia mengatakan mayat Alda besok pagi akan dikebumikan. Aku mengangguk saja. Tidak ada niat untuk menceritakan apa yang aku alami di pasar Ampera Manna sore tadi. Cerita itu bisa saja menakutkan istriku, karena itu tidak perlu kuceritakan saat ini.

“Besok aku akan mengantar almarhumah Alda ke pemakaman,” kataku pada istriku.

* * *

Seminggu setelah Alda meninggal, aku mencoba kembali ke Pasar Ampera, di mana tempat aku berjumpa dengan sekelebat wanita mirip Alda. Aku pun ingat sebulan yang lalu, Alda pernah curhat padaku, bahwa dia menghadapi permasalahan keluarga, karena suaminya melakukan perselingkuhan dengan teman satu kantornya.  Dia sudah pisah ranjang dengan suaminya yang berasal dari kota Manna. Lalu saat itu pun dia menggugat suaminya untuk cerai.  Seminggu sebelum meninggal pengadilan agama memutuskan Alda dan suaminya benar-benar bercerai.

Aku hanya dapat mengatakan padanya untuk bersabar menghadapi cobaan itu. Aku ikut sedih dan menyesal. Dia sesungguhnya adalah kekasihku yang baik sejak kuliah dulu. Karena itu aku sangat peduli padanya. Ucapannya terakhir yang tidak akan pernah kulupa, bahwa dia ingin menjadi istri keduaku apa pun resikonya. Dia membisikkan kata itu dalam pelukanku ketika senja kami berdua duduk di tepi pantai Kayu kunyit yang indah. Tapi kini semua itu menjadi cerita yang menyedihkan. Kisah hidup misterius yang penuh rahasia.

“Bapak mau pesan sate lagi?” tanya seorang ibu menyadarkan lamunanku. Aku tersadar, tetapi kemudian aku pun tersenyum. Ibu itu langgananku setiap aku menunggu Alda di pasar Ampera ini. Tapi aku tidak semangat merespon tawarannya.

“Bapak kok banyak diam hari ini?” tanya ibu itu lagi.

Aku hanya tertawa kecil.  Berusaha tetap ramah.

“Apa bapak menunggu ibu cantik yang seminggu lalu itu?” ibu itu bertanya lagi.

Aku terkejut  ketika mendengar pertanyaan itu. Kutatap wajah ibu tersebut. “Ibu melihatnya juga?  Wanita cantik  itu ?”

Ibu itu mengangguk. “Wanita itu memakai gaun dan kerudung putih-putih, iya kan?”

Aku benar-benar terperanjat. Apa yang kusaksikan ketika itu busananya sama seperti yang dikatakan ibu tersebut. Apa maksudnya semua ini?

Aku hanya terpana.    Tapi  kucoba  seperti  tidak terjadi  apa-apa.

Dalam kebingungan itu, hanya satu kalimat yang kubisikkan dalam hati: “Aku kira, hantu itu ada.” (*)

Bukit   Senuling,   Pagar   Dewa   Padang   Guci