Reformasinews.com- PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, perusahaan tekstil ternama di Sukoharjo, Jawa Tengah, resmi berhenti beroperasi sejak Sabtu (1/3/2025).
PT Sritex yang telah berdiri selama 58 tahun resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.
Perusahaan ini sebelumnya dikenal sebagai salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia dengan jaringan ekspor ke berbagai negara.
Dengan penutupan Sritex, ribuan karyawan kini harus mencari pekerjaan baru untuk bertahan hidup.
Sejumlah dari mereka berharap perusahaan bisa bangkit kembali di masa depan.
Penjelasan PT Sri Rejeki Isman (Sritex)
Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman (Sritex), Iwan Kurniawan Lukminto, mengungkapkan apresiasinya terhadap loyalitas dan dedikasi para karyawan yang telah berkontribusi dalam membangun perusahaan tekstil tersebut.
“Kalau dihitung para karyawan ini sudah bersama selama 21.382 hari sejak Sritex berdiri pada 16 Agustus 1966,” kata Iwan di Semarang, Jumat (28/2/2025), dikutip dari Kompas.com
Ia mengungkapkan bahwa akibat kepailitan, sekitar 8.000 karyawan Sritex di Kabupaten Sukoharjo kehilangan pekerjaan.
Secara keseluruhan, terdapat 12.000 karyawan dari Sritex dan tiga anak usahanya yang terdampak.
“Kami merasa berduka, namun tetap harus memberikan semangat,” tambahnya.
Iwan juga menyampaikan terima kasih atas dukungan pemerintah selama proses kepailitan berlangsung.
Ia menegaskan bahwa manajemen Sritex akan bersikap kooperatif dan bekerja sama dengan kurator agar proses pemberesan dapat berjalan dengan lancar.
Selain itu, ia memastikan bahwa hak-hak para karyawan akan tetap dikawal hingga terpenuhi.
Sementara, Kurator kepailitan PT Sritex, Denny Ardiansyah, menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan bagian dari prosedur administratif agar para buruh dapat segera mencari pekerjaan baru.
“Oleh karena itu, kami memfasilitasi mereka dengan menghadirkan petugas dari dinas tenaga kerja dan BPJS Ketenagakerjaan langsung ke pabrik Sritex, sehingga karyawan tidak perlu datang ke kantor dinas atau BPJS,” jelasnya.
Ia juga menegaskan bahwa hak-hak karyawan akan menjadi prioritas dalam daftar tagihan utang perusahaan.
Sebelumnya, dalam rapat kreditur terkait kepailitan PT Sritex, diputuskan bahwa perusahaan tidak akan melanjutkan operasionalnya (going concern) dan akan segera dilakukan proses penyelesaian utang sesuai dengan kondisi yang telah dipaparkan oleh kurator maupun debitur pailit.
Tangis Pilu Karyawan
Keputusan ini membuat ribuan karyawan harus menerima kenyataan pahit kehilangan pekerjaan.
Sejumlah karyawan yang telah bekerja selama puluhan tahun di Sritex menceritakan kisah mereka menjelang hari-hari terakhir beroperasinya perusahaan.
Beberapa di antaranya mengemas barang pribadi, mengabadikan momen kenangan, hingga mengikuti acara perpisahan dengan rekan kerja mereka.
Wagiyem (48), salah satu karyawan Sritex, mengungkapkan keterkejutannya atas kebangkrutan perusahaan tempatnya bekerja sejak 1997.
“Hari ini (Jumat) cuma acara perpisahan saja. PHK-nya sudah kemarin. Hak-haknya dikasih, tapi masih menunggu,” ujarnya, Jumat (28/2/2025).
Ia mengaku, selama bekerja di Sritex, banyak suka dan duka yang dialaminya.
Wagiyem bahkan pernah menerima selembar saham dari pendiri perusahaan, H.M. Lukminto.
“Dulu pernah dapat satu lembar saham per karyawan. Saya lupa tahunnya, tapi saya ingat itu zaman Pak Lukminto. Saat itu, order ekspor banyak, jadi sering ada lembur,” kenangnya.
Namun, menurutnya, kondisi perusahaan mulai memburuk sejak pandemi Covid-19 melanda pada 2020 hingga akhirnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.
“Gak nyangka aja pabrik sebesar ini, terkenal di luar negeri, kok bisa bangkrut,” tuturnya.
Karyawan lainnya, Karwi Mardiyanto (45), turut merasakan kesedihan atas keputusan PHK massal ini.
Ia berencana membuka usaha warung makan setelah Lebaran.
“Kalau saya untuk sementara ini karena bulan suci Ramadhan, akan fokus beribadah,” kata Karwi.
Ia yang telah bekerja selama 17 tahun di Sritex mengaku sedih dan kecewa.
Terlebih, istrinya yang juga bekerja di Sritex selama 10 tahun turut terdampak PHK.
“Saya tulang punggung keluarga. Istri juga di-PHK, anak satu, jadi ya tetap harus cari penghasilan,” jelasnya.
Daryati, karyawan yang telah bekerja di Sritex selama 25 tahun, juga merasa sedih dan bingung setelah di-PHK.
Ia berharap segera mendapat pekerjaan baru untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
“Saya berharap Sritex bisa pulih lagi, supaya bisa bekerja kembali,” ungkapnya dikutif dari tribunmedan.
Karyawan bagian garmen, Warti, tak kuasa menahan kesedihannya setelah menerima surat PHK pada 26 Februari 2025.
“Di sini sudah 25 tahun, hati saya sakit rasanya ingin menangis. Keluarga juga ikut menangis karena saya sudah lama di PT Sritex,” ujar Warti dikutip dari TribunSolo.com.
Ia kini berencana mencari pekerjaan sampingan untuk membiayai anaknya.
Sementara, seorang petugas keamanan (security) di PT Sritex, Sri Cahyaningsih, mengaku masih tidak percaya bahwa perusahaan tempatnya bekerja selama 25 tahun telah tutup.
“Selama saya di sini, seperti mimpi ada kejadian seperti ini. Saya kerja di sini demi keluarga, bantu saudara-saudara,” ucap Sri.
Ia juga menyebut bahwa banyak karyawan lain yang mengalami perasaan serupa.
“Teman-teman semua di sini juga seperti tidak percaya. Sudah mengabdi lama, tapi akhirnya harus berpisah,” imbuhnya.
Lantas, apa yang menyebabkan Sritex tutup?
PT Sritex tutup karena bangkrut dan tidak mampu melunasi utang-utangnya.
Mereka kesulitan membayar utang jangka pendek karena arus kas Sritex yang tercatat negatif pada 2020.
Hal itu diperparah kondisi pandemi berkepanjangan dan keraguan pelanggannya bisa melunasi piutang-piutang usaha perusahaan.
Masalah besar Sritex adalah perusahaan tidak bisa menagih piutang-piutang dari pelanggannya, sehingga menyebabkan perusahaan kesulitan membayar utang-utang jangka pendek.
Berdasarkan laporan keuangan Desember 2020, total utang Sritex sebesar Rp 17,1 triliun.
Padahal saat itu, total asset hanya Rp 26,9 triliun dan Sritex harus menghidupi lebih dari 17.000 karyawan.
PT Sritex resmi dinyatakan pailit per Rabu (23/10/2024) setelah PN Niaga Semarang mengabulkan putusan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. dengan pemohon PT Indo Bharat Rayon.
Dalam putusan itu, PT Sritex dinilai tidak sanggup membayar utang dan dinilai lalai memenuhi kewajiban pembayaran kepada para pemohon berdasarkan putusan homologasi tanggal 25 Januari 2022.
Pemohon selaku kreditur meminta para termohon dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya karena gagal membayar utang.
Selain Sritex, perkara tersebut juga mengadili termohon lain yang merupakan anak perusahaannya, yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
Bagaimana awal mula gugatan ke PT Sritex?
Putusan pailit berawal dari permohonan pembatalan perjanjian damai yang diajukan oleh PT Indo Bharat Rayon sebagai debitur PT Sritex.
PT Sritex kemudian menghadapi gugatan yang dilayangkan PT Indo Bharat Rayon, yang mengeklaim bahwa Sritex tidak memenuhi kewajibannya membayar utang yang telah disepakati.
Berdasarkan perjanjian damai tersebut, PT Sritex diharuskan membayar sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian homologasi yang telah disepakati.
Homologasi adalah pengesahan oleh hakim atas kesepakatan antara debitur dan kreditur untuk mengakhiri kepailitan.
Sebagai konsekuensi dari ketidakpatuhan atas kesepakatan tersebut, Hakim Ketua dalam persidangan memutuskan bahwa PT Sritex dinyatakan pailit.
Apa upaya Sritex untuk mengatasi kondisi pailit?
PT Sritex mengajukan kasasi terhadap putusan pembatalan pengesahan perdamaian (homologasi) yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang.
Karena hal tersebut yang menyebabkan perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara ini dinyatakan pailit.
Sayangnya, Sritex dinyatakan tetap pailit setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi grup Sritex.
Putusan tersebut disampaikan pada Rabu (18/12/2024) dan tercatat dalam Putusan Nomor 1345 K/Pdt.Sus-Pailit/2024.
Putusan kasasi dari MA tersebut secara resmi menegaskan bahwa status pailit Grup Sritex tetap berlaku.**