Jakarta,reformasinews.com- Anggota Komisi II DPR RI Azis Subekti menyebut konstitusi di Indonesia bukan teks yang kaku dan membuka ruang mengubah model pemilihan sesuai kebutuhan masyarakat.
“Menjalankan konstitusi bukan berarti mempertahankan satu model secara dogmatis,” kata dia dalam keterangan persnya, Kamis (31/12).
Legislator fraksi Gerindra itu mengatakan model pilkada secara langsung pernah menjadi terobosan penting mendekatkan rakyat dengan pemimpin.
Namun, kata Azis, muncul persoalan struktural yang tak bisa diabaikan dari model pilkada langsung selama dua dekade berjalan.
“Biaya politik yang sangat tinggi telah mendorong kompetisi berbasis modal, bukan gagasan,” katanya dikutif dari JPNN.com.
Dia menuturkan demokrasi dalam kondisi seperti itu berisiko kehilangan makna. Sebab, keputusan politik kerap ditentukan oleh kekuatan uang dan jejaring kekuasaan.
“Polarisasi sosial menjadi fenomena berulang yang menguras energi masyarakat tanpa selalu diikuti perbaikan kualitas layanan publik,” ujar Azis.
Dari situ, kata dia, demokrasi perlu dimaknai secara lebih progresif. Bukan semata prosedur memilih, melainkan instrumen melahirkan pemimpin berintegritas.
Dia mengatakan evaluasi terhadap model pemilihan bukan bentuk pengingkaran demokrasi ketika sistem saat ini melahirkan hasil buruk.
“Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa koreksi sistem bukan hal tabu,” kata Azis.
Toh, lanjut dia, Indonesia pernah mengubah mekanisme pemilihan presiden, merevisi desain otonomi daerah, dan menata ulang berbagai institusi negara demi efektivitas dan akuntabilitas.
“Menimbang ulang pilkada langsung seharusnya ditempatkan dalam kerangka yang sama, menyempurnakan, bukan memundurkan,” katanya.
Azis menuturkan pelaksanaan pilkada melalui DPRD sebenarnya opsi konstitusional yang layak dipertimbangkan secara rasional.
Menurutnya, DPRD saat ini menjadi lembaga perwakilan yang lahir dari mandat rakyat dan bekerja dalam ruang politik yang relatif lebih terawasi.
Azis mengatakan pilkada melalui DPRD dengan desain transparan memakai uji publik membuat biaya politik bisa ditekan.
Mekanisme ini berpotensi menekan biaya politik dan memindahkan kompetisi dari arena mobilisasi uang ke arena gagasan dan kapasitas kepemimpinan,” katanya.*

